Minggu, 11 Agustus 2024

Rangkuman Koneksi Antar materi - Modul 3.1_RINI SUSANTI GULO

Salam dan bahagia Bapak/Ibu guru hebat di seluruh penjuru dunia, kali ini izinkan saya untuk menyampaikan sebuah rangkuman atau koneksi dari materi yang sudah saya pelajari di modul 3.1. Namun sebelumnya mari kita cermati sebuah kutipan di bawah ini.

“Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik”

(Teaching kids to count is fine but teaching them what counts is best). Bob Talbert
        Kutipan ini menyoroti betapa pentingnya pendidikan karakter. Mengajarkan anak-anak keterampilan dasar seperti berhitung memang sangat penting, namun yang lebih utama adalah menanamkan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, empati, dan tanggung jawab. Dengan kata lain, pendidikan tidak hanya sebatas mencetak individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga individu yang bermoral dan memiliki integritas. 
        Hal ini sejalan dengan konsep pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan yang menjadi landasan bagi seorang pemimpin. Baik dalam konteks pendidikan maupun kepemimpinan, fokusnya bukan hanya pada pencapaian tujuan yang bersifat materi atau prestasi, tetapi juga pada pembentukan individu yang berintegritas dan memiliki nilai-nilai luhur. Dengan demikian, seorang pemimpin yang berpegang pada nilai-nilai kebajikan akan selalu menjadikan kepentingan bersama dan kesejahteraan individu sebagai pertimbangan utama dalam setiap keputusan yang diambil. Hal ini akan menciptakan lingkungan yang positif dan kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan semua pihak.

Education is the art of making man ethical.
Pendidikan adalah sebuah seni untuk membuat manusia menjadi berperilaku etis.
~ Georg Wilhelm Friedrich Hegel ~

Kutipan Hegel diatas sangat relevan dengan konsep pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan yang sudah dipelajari. Pendidikan tidak hanya sebatas transfer ilmu pengetahuan, namun juga pembentukan karakter. Sebagai pemimpin, kita dituntut untuk memiliki integritas yang kuat dan mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai moral. Dengan kata lain, pendidikan membentuk kita menjadi pemimpin yang tidak hanya kompeten, tetapi juga bijaksana dalam mengambil keputusan yang berdampak pada banyak orang. Proses pembelajaran yang kita lalui telah membekali kita dengan kemampuan untuk mengidentifikasi nilai-nilai yang relevan dalam setiap situasi, sehingga kita dapat membuat pilihan yang etis dan bertanggung jawab.
Selanjutnya, mari kita lebih memahami maksud pernyataan di atas melalui jawaban dari pertanyaan berikut!

1. Bagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka memiliki kaitan dengan penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin?

Semboyan Ki Hajar Dewantara mengajarkan kita bahwa seorang pendidik ideal adalah sosok yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi dan mendukung siswanya. Prinsip ini mendorong kita untuk selalu menempatkan siswa sebagai prioritas utama dalam setiap keputusan yang kita ambil. Dengan demikian, kita dapat mencetak generasi muda yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki karakter yang baik sesuai dengan profil Pelajar Pancasila. Dalam proses pembelajaran, kita harus menggabungkan pengajaran materi akademik dengan penanaman nilai-nilai moral yang baik.

2. Bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan?
Perilaku seseorang adalah cerminan dari nilai-nilai yang diyakininya. Hal ini berlaku juga bagi seorang pendidik. Nilai-nilai positif yang tertanam dalam diri seorang guru akan memengaruhi cara mereka mengambil keputusan, terutama dalam konteks pendidikan. Kompetensi sosial emosional seperti kesadaran diri dan empati sangat penting bagi seorang guru dalam menerapkan prinsip "Tut Wuri Handayani". Dengan kata lain, nilai-nilai kebajikan yang dimiliki seorang guru akan mendorong mereka untuk selalu memberikan dukungan dan bimbingan kepada siswa, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
            Guru yang ideal adalah sosok yang memiliki nilai-nilai positif seperti mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan selalu mengutamakan kepentingan murid. Nilai-nilai ini menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan, terutama saat dihadapkan pada dilema etis atau moral. Dengan mengimplementasikan kompetensi sosial emosional seperti kesadaran diri dan empati, guru dapat membuat keputusan yang bijaksana dan meminimalisir dampak negatif. Singkatnya, seorang guru tidak hanya mengajar materi, tetapi juga menjadi role model dan fasilitator bagi pertumbuhan siswa.

3. Bagaimana materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan coaching (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambil? Apakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebut? Hal-hal ini tentunya bisa dibantu oleh sesi coaching yang telah dibahas pada sebelumnya.


Pengambilan keputusan, terutama yang strategis, merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita, termasuk dalam dunia pendidikan. Keterampilan coaching terbukti sangat efektif dalam membantu individu, termasuk guru, untuk membuat keputusan yang lebih baik. Melalui proses coaching, kita diajak untuk menggali lebih dalam suatu masalah, mempertimbangkan berbagai pilihan, dan akhirnya mengambil keputusan yang berlandaskan etika dan nilai-nilai positif. Dalam konteks pendidikan, coaching dapat membantu guru untuk lebih memahami dan mengatasi permasalahan siswa, serta menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Prinsip kesetaraan dan pertanyaan yang berbobot dalam coaching menciptakan suasana yang nyaman bagi semua pihak untuk berdiskusi dan menemukan solusi terbaik.
            Coaching dengan menggunakan alur TIRTA adalah sebuah metode yang efektif untuk membantu individu, terutama pendidik, dalam mengidentifikasi dan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Model ini dikembangkan dari GROW, namun dengan penekanan yang lebih kuat pada tujuan dan tanggung jawab. TIRTA mendorong kita untuk berpikir lebih sistematis dan membuat keputusan yang lebih baik, terutama dalam konteks pendidikan. Dengan langkah-langkah yang jelas, mulai dari identifikasi tujuan hingga perencanaan aksi, coaching TIRTA membantu kita untuk menggali potensi diri dan menemukan solusi yang tepat. Singkatnya, TIRTA adalah alat yang berharga bagi guru untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih efektif.

4. Bagaimana kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan suatu keputusan khususnya masalah dilema etika?
            Sebagai seorang pendidik, kita dituntut untuk mampu mengakomodasi beragam gaya belajar dan minat siswa di kelas. Untuk mencapai hal ini, pengambilan keputusan yang tepat menjadi kunci. Kompetensi sosial dan emosional sangat penting bagi seorang guru dalam membuat keputusan yang bijaksana, sehingga setiap siswa merasa dihargai dan termotivasi untuk belajar. Dengan demikian, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung, di mana setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang sesuai dengan potensi mereka. Hal ini sejalan dengan konsep merdeka belajar, yang menekankan pada pentingnya pembelajaran yang berpusat pada siswa.

5. Bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik.
        

Keberhasilan seorang pendidik dalam menciptakan lingkungan belajar yang berpihak pada murid sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengambil keputusan yang tepat, terutama dalam menghadapi dilema etika dan moral. Nilai-nilai yang dianut oleh seorang pendidik akan sangat mempengaruhi keputusan yang diambilnya. Guru yang memiliki nilai-nilai positif seperti refleksi diri, kemandirian, inovasi, kolaborasi, dan kepedulian terhadap murid akan cenderung membuat keputusan yang bijak dan bertanggung jawab. Sebaliknya, jika nilai-nilai yang dianutnya tidak sesuai dengan norma dan etika, maka keputusan yang diambilnya berpotensi merugikan banyak pihak, terutama murid. Oleh karena itu, penting bagi seorang pendidik untuk terus mengasah kemampuannya dalam berpikir kritis dan mengambil keputusan yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur.

6. Bagaimana pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.
            Dengan mengikuti sembilan langkah pengambilan keputusan yang telah dipelajari, kita dapat lebih yakin bahwa setiap keputusan yang kita ambil, terutama dalam situasi yang melibatkan dilema etika atau moral, adalah keputusan yang tepat dan adil. Proses ini memungkinkan kita untuk menganalisis situasi secara mendalam, mempertimbangkan semua aspek yang relevan, dan akhirnya memilih solusi terbaik yang mengakomodasi kepentingan semua pihak yang terlibat. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang positif, kondusif, dan aman bagi semua orang.

7, Apakah tantangan-tantangan di lingkungan Anda untuk dapat menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika ini? Adakah kaitannya dengan perubahan paradigma di lingkungan Anda?
  
             Dalam menghadapi dilema etika, kita sering kali dihadapkan pada pilihan sulit antara tiga pendekatan utama: berfokus pada hasil akhir yang diinginkan, mengikuti aturan yang berlaku, atau mengutamakan kepentingan orang lain. Pemilihan pendekatan ini sangat bergantung pada situasi yang dihadapi. Meskipun setiap keputusan pasti memiliki konsekuensinya masing-masing, namun dengan mengikuti sembilan langkah pengambilan keputusan yang sistematis, kita dapat meminimalisir dampak negatif dan mencapai solusi yang lebih optimal. Salah satu tantangan terbesar dalam menghadapi dilema etika adalah perasaan tidak nyaman karena tidak dapat memuaskan semua pihak. Namun, dengan mengikuti langkah-langkah tersebut, kita dapat membuat keputusan yang lebih objektif dan dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat.

8. Apakah pengaruh pengambilan keputusan yang kita ambil ini dengan pengajaran yang memerdekakan murid-murid kita? Bagaimana kita memutuskan pembelajaran yang tepat untuk potensi murid kita yang berbeda-beda?

                   Dengan mengadopsi pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa, seperti yang diwujudkan dalam Kurikulum Merdeka, kita menciptakan lingkungan belajar yang memberdayakan. Kurikulum ini memberikan fleksibilitas bagi guru untuk mengakomodasi kebutuhan belajar yang beragam, sehingga setiap siswa dapat mengembangkan potensi dan minat mereka secara optimal. Model pembelajaran yang berdiferensiasi memungkinkan siswa untuk belajar dengan cara yang sesuai dengan gaya belajar mereka, sehingga mereka lebih termotivasi dan terlibat dalam proses pembelajaran. Hal ini tidak hanya meningkatkan prestasi akademik siswa, tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan abad ke-21 yang diperlukan untuk sukses di masa depan, seperti kreativitas, berpikir kritis, dan kemampuan bekerja sama.

9. Bagaimana seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya?

    Setiap keputusan yang diambil oleh seorang pendidik memiliki konsekuensi yang signifikan bagi perkembangan siswa, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Tindakan dan pilihan kita tidak hanya memengaruhi perilaku siswa saat ini, tetapi juga membentuk cara mereka berpikir dan bertindak di masa depan. Dengan kata lain, kita sebagai pendidik menjadi role model bagi siswa dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk selalu mengambil keputusan yang tepat, bijaksana, dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk memastikan hal tersebut, kita perlu melakukan analisis yang mendalam dan menguji keputusan kita melalui berbagai perspektif, seperti aspek legal, regulasi, instuisi, publikasi, dan nilai-nilai yang kita yakini. Dengan melakukan pengujian yang komprehensif, kita dapat meminimalisir kesalahan dan memastikan bahwa keputusan yang kita ambil memberikan manfaat yang optimal bagi siswa.

10. Apakah kesimpulan akhir  yang dapat Anda tarik dari pembelajaran modul materi ini dan keterkaitannya dengan modul-modul sebelumnya?
        Sebagai seorang pendidik, kemampuan mengambil keputusan yang tepat adalah kunci keberhasilan dalam membentuk karakter dan masa depan siswa. Setiap keputusan yang kita ambil memiliki dampak yang signifikan, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu berpegang pada nilai-nilai luhur seperti yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara dan menggunakan model pengambilan keputusan yang sistematis, seperti model BAGJA. Dengan menerapkan pendekatan yang berpusat pada siswa, kita dapat membantu siswa mencapai profil pelajar Pancasila. Pembelajaran berdiferensiasi, sebagai salah satu bentuk implementasi merdeka belajar, memungkinkan kita untuk memenuhi kebutuhan belajar yang beragam dari setiap siswa. Dengan demikian, kita tidak hanya membekali siswa dengan pengetahuan, tetapi juga membantu mereka tumbuh menjadi individu yang mandiri, kreatif, dan bertanggung jawab.

11. Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: dilema etika dan bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan. Adakah hal-hal yang menurut Anda di luar dugaan?

Setelah mempelajari modul 3.1 saya menjadi lebih mampu memahami dan menganalisis kasus yang termasuk dalam bujukan moral (kondisi benar lawan salah, berhubungan dengan aturan/hukum) dan dilema etika (kondisi benar lawan benar, terkadang menjadi dua sisi benar namun saling bertentangan). Dalam pengambilan keputusan terdapat 4 paradigma dilema etika yang dapat digunakan yaitu paradigma individu lawan masyarakat, paradigma rasa keadilan lawan rasa kasihan, paradigma kebenaran lawan kesetiaan, dan paradigma jangka pendek lawan jangka panjang. Paradigma ini digunakan dalam mempertajam analisis mengenai sebuah kasus berdasarkan nilai-nilai yang saling bertentangan.

Selain paradigma, saya juga memahami mengenai 3 prinsip pengambilan keputusan yaitu prinsip berpikir berbasis hasil akhir (end-based thinking), berpikir berbasis peraturan (rules-based thinking), dan berpikir berbasis rasa peduli (care-based thinking). Prinsip ini digunakan sebagai arah pengambilan keputusan yang akan diambil menuju keputusan yang paling sesuai.

saya juga memahami 9 langkah pengambilan keputuasan yang terdiri dari: mengenali nilai-nilai yang saling bertentangan, menentukan siapa saja yang terlibat, kumpulkan fakta-fakta yang relevan, pengujian benar dan salah (uji legal, uji regulasi, uji intuisi, uji publikasi, uji panutan), pengujian paradigma benar lawan benar, melakukan prinsip resolusi, investigasi opsi trilema, membuat keputusan dan tinjau lagi keputusan dan refleksikan.

Hal yang diluar dugaan selama saya mempelajari modul 3.1 adalah perubahan paradigma yang semela saya fikir keputusan terbaik haruslah selalu berlandaskan aturan dan mengabaikan kemanusiaan, ternyata semua itu dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

12. Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan pengambilan keputusan sebagai pemimpin dalam situasi moral dilema? Bilamana pernah, apa bedanya dengan apa yang Anda pelajari di modul ini?

Sebelum mempelajari modul ini saya pernah mengambil  keputusan dengan situasi dilema etika, namun yang saya lakukan hanya sebatas pada pemikiran didukung dengan beberapa pertimbangan. Saya sudah merasa aman bila keputusan yang saya ambil sudah sesuai aturan dan tidak berdampak merugikan banyak orang. Dengan belajar modul ini saya menjadi lebih kaya akan pengetahuan bahkan telah mempraktikkan, bagaimana cara pengambilan keputusan yang tepat dengan menggunakan langkah-langkah tertentu yang tak lepas dari paradigma dan prinsip-prinsip yang ada.

13. Bagaimana dampak mempelajari konsep  ini buat Anda, perubahan  apa yang terjadi pada cara Anda dalam mengambil keputusan sebelum dan sesudah mengikuti pembelajaran modul ini?

Modul ini telah membuka wawasan saya mengenai kompleksitas pengambilan keputusan, terutama dalam konteks pendidikan. Sebelumnya, saya hanya berfokus pada aspek regulasi dan sosial. Namun, setelah mempelajari empat paradigma dilema etika dan sembilan langkah pengambilan keputusan, saya menyadari bahwa proses ini jauh lebih mendalam dan melibatkan berbagai pertimbangan. Saya berencana menerapkan pemahaman baru ini dalam setiap keputusan yang saya ambil, baik sebagai pemimpin pembelajaran maupun dalam komunitas. Dengan mengacu pada tiga prinsip dasar dan sembilan langkah yang telah dipelajari, saya yakin dapat membuat keputusan yang lebih tepat dan objektif, selalu mengutamakan kepentingan siswa.

14. Seberapa penting mempelajari topik modul ini bagi Anda sebagai seorang individu dan Anda sebagai seorang pemimpin?

            

Modul 3.1 telah memberikan saya pemahaman yang mendalam tentang pentingnya pengambilan keputusan yang baik, terutama dalam konteks pendidikan. Saya menyadari bahwa setiap keputusan yang kita ambil, baik sebagai guru maupun sebagai pemimpin sekolah, akan berdampak signifikan pada keberhasilan mewujudkan merdeka belajar dan profil pelajar Pancasila. Untuk itu, seorang pendidik perlu memiliki keterampilan pengambilan keputusan yang solid, didasari oleh sembilan langkah, empat paradigma dilema etika, dan tiga prinsip. Dalam proses pengambilan keputusan, tiga uji yaitu uji intuisi, uji publikasi, dan uji panutan juga menjadi sangat penting. Dengan menguasai kerangka kerja ini, saya yakin dapat membuat keputusan yang lebih bijaksana dan bertanggung jawab, selalu mengutamakan kepentingan siswa.

"Demikianlah pemahaman saya mengenai materi ini. Saya menyadari bahwa perjalanan pembelajaran saya masih panjang dan banyak hal yang perlu saya eksplorasi. Oleh karena itu, saya sangat terbuka terhadap masukan dan saran yang dapat memotivasi saya untuk terus belajar dan berkembang. Sebagai seorang guru, saya percaya bahwa semangat belajar yang tak pernah padam adalah kunci untuk memberikan dampak positif bagi siswa dan masyarakat

Minggu, 05 Mei 2024

Refleksi DwiMingguan Modul 1.3

 Assalamualikum wr.wb

Salam dan bahagia untuk kita semua. Bapak ibu guru hebat, pada kesempatan kali ini saya akan bercerita mengenai pengalaman saya dalam proses belajar modul 1.3. Refleksi ini saya lakukan dengan model 4 P. 

1. Facts (Peristiwa)

Pada modul 1.3 ini kami mempelajari topik baru mengenai Visi Guru Penggerak. Kami diajak merumuskan visi kami sendiri berdasarkan impian yang ingin kami capai di masa depan. Awal pembelajaran kami diajak berimajinasi membayangkan bagaimana siswa impian kami di masa depan. berikut gambaran mimpi yang saya tuangkan. 


Saya bermimpi akan memiliki siswa yang religius, berkarakter, kreatif, inovatif, mandiri, bernalar kritis, dan kolaboratif. Impian itu lalu saya tuangkan menjadi sebuah visi. 


Untuk dapat mewujudkan visi yang sudah disusun, pada modul ini kami belajar mengenai konsep Inkuiri Apresiatif (IA). Inkuiri Apresiatif (IA) adalah suatu filosofi, suatu landasan berpikir yang berfokus pada upaya kolaboratif untuk menemukan hal positif dalam diri seseorang, dalam suatu organisasi dan dunia di sekitarnya baik di masa lalu, masa kini maupun masa depan (Cooperrider & Whitney, 2005)

Berdasarkan penjelasan tersebut, kamipun melakukan pendekatan Inkuiri Apresiatif (IA) untuk menemukan memaksimalkan potensi yang kami miliki di sekolah sebagai kekuatan untuk mewujudkan visi. Proses ini diawali dengan merumuskan prakarsa perubahan. Prakarsa tersebut kami susun secara kolaboratif dengan tim yang sudah dibagi oeleh fasilitator. Kegiatan kami lakukan dnegan menyeleksi visi yang sesuai dengan kami semua. Lalu berdasarkan visi tersebut kami merumuskan prakarsa perubahan dengan metode ATAP (Aset/awal, tantangan, Aksi, dan Pembelajaran). Pada kegiatan tersebut kami menemukan masalah yang kami hadapi di sekolah dan tantangan yang kami hadapi serta aksi yang kami lakukan.  

Setalah menyusun prakarsa perubahan, kami pun mulai menyusun rencana perubahannya dengan berdasarkan kerangka BAGJA yang merupakan akronim dari: Buat Pertanyaan Utama (Define), Ambil Pelajaran (Discover)., Gali Mimpi (Dream), Jabarkan Rencana (Design), Atur Eksekusi (Deliver). Prakarsa perubahan yang sudah kami susun adalah: Mewujudkan siswa yang bernalar kritis dengan meningkatkan budaya literasi sekolah. Kami menyadari bahwa literasi merupakan masalah yang dihadapi hampir semua sekolah, oleh karena itu kami bertekad untuk menemukan solusi untuk dapat mengatasi persoalan literasi ini. 

2. Feelings (Perasaan)

Perasaan yang timbul ketika mempelajari modul ini adalah munculnya rasa semangat untuk melakukan perubahan. Saat merumuskan visi saya merasa sangat termotivasi dan menyadari bertapa banyak hal-hal di sekolah yang ingin saya perbaiki. Tentu perubahannya tidak bisa instan dan menyeluruh, namun saya yakin jika saya bisa mengerakkan komunitas sekolah dan berkolaborasi dengan seluruh pihak yang berkaitan dengan sekolah tentu usaha saya akan membuahkan hasil. Semangat saya semakin berkobar saat mengikuti Lokakarya 1 di Aula Dinas Pendidikan kabupaten Simeulu pada hari Sabtu yang lalu, tanggal 4 Mei 2024. Disini kami dibimbing oleh pengajar praktik belajar mengenai Komunitas Praktisi. Kami belajar apa itu komunitas praktisi dan bagimana menjadi bagian yang membawa perubahan di dalamnya. Lokakarya tersebut diselingi game yang sangat menarik dan bermakna serta kegiatan lainnya yang menambah keakraban antar peserta. Kami merasa sangat senang dan bahagia. 

3. Findings (Pembelajaran)

Dari serangakaian pembelajaran tadi saya belajar bahwa kita sebagai guru harus memiliki visi. Visi tersebut haruslah dipandang dari segi kebermanfaatannya terhadap murid, orientasinya adalah murid, sehingga visi yang kita susun berpihak pada murid. Sebagai rencana yang ingin kita capai, maka kita harus mengenali kelemahan,  kekurangan, tantangan serta potensi atau kekuatan yang kita kita miliki. Berdasarkan kedua hal tersebut kita dapat mengatur rencana eksekusi dengan berdasarkan pada tujuan yang ingin kita capai. Saya juga belajar bahwa untuk memaksimalkan visi tersebut kita tentu tidak dapat berjalan sendiri. Kita harus berkolaborasi, langkah awalnya adalah dengan memulai komunitas praktisi. Sebuah komunitas yang memiliki kegelisahan yang sama terhadap permasalah di sekolah. Komunitas itu kemudian dapat saling belajar menemukan solusi melalui pertemuan rutin dan terjadwal. Komunitas ini diharapkan dapat melakukan satu gerakan perubahan di sekolah.

4. Future (Penerapan)

Berdasarkan alur perjalanan modul 1.3 ini saya akan berusaha mewujudkan visi yang sudah saya susun dengan melakukan prakarsa perubahan di sekolah saya. Perubahan tersebut dapat saya lakukan dimulai dari hal terkecil seperti penerapan disiplin diri, pembiasaan literasi, melakukan pembelajaran yang berpihak pada murid, dan tentunya akan mulai mengaktifkan kembali komunitas praktisi yang ada di sekolah dan terlibat aktif dalam komunitas praktisi yang ada di lingkungan sekitar saya. Saya sangat berharap semoga semua kegiatan yang saya rencanakan dapat saya lakukan dengan baik dan dimudahkan oleh Allah swt. Semoga kita tetap sehat dan tetap semangat. 

Senin, 01 April 2024

Tugas Modul 1. 2.a.3: Refleksi Diri dan Nilai/Peran Guru Penggerak

Tugas Modul 1. 2.a.3: Refleksi Diri dan Nilai/Peran Guru Penggerak

 

Assalamualaikum bapak/ibu guru hebat. Pada kesempatan kali ini, saya akan menceritakan refleksi diri mengenai peristiwa yang pernah saya alami saat masa pendidikan dulu. Keadaan tersebut dapat dilihat pada Trapesium Usia Saya di bawah ini.



Berdasarkan trapesium di atas dapat dilihat bahwa saya mengalami beberapa peristiwa baik positif dan negatif. Peristiwa tersebut membentuk diri saya saat ini.

 Tugas 1: Refleksi

 1.        Peristiwa Positif dan Negatif Berdasarkan Trapesium Usia

-  Peristiwa Positif

Saya lahir dan tumbuh di dalam keluarga yang sangat sederhana. Ayah saya hanyalah seorang petani yang juga bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ibu saya hanyalah ibu rumah tangga biasa, namun sesekali juga bekerja membantu perekonomian keluarga dengan berjualan. Saya sangat bersyukur dilahirkan dalam keluarga ini karena meskipun serba kekurangan, limpahan kasih sayang kedua orangtua saya amatlah besar.

Berbicara masalah pendidikan, almarhum Ayah saya adalah sosok yang paling berjasa. Usia 5 tahun 6 bulan, saya masuk sekolah dasar yakni SDN 152978 Pagaran, Sibolga, Tapanuli Tengah. Saat itu saya belum bisa membaca dan menulis hingga wali kelas saya menulis di rapor saya catatan untuk orangtua ‘Tolong ajari anak ini membaca di rumah”.  

Ayah saya yang saat itu bekerja sebagai satpam di sebuah sekolah elite sangat memperhatikan hal ini. Beliau membawakan saya banyak sekali buku bacaan, majalah, bahkan koran. Beliau setiap hari selalu membacakan saya buku, mengajari saya mengenal huruf hingga saya mulai lancar membaca dan mulai ketagihan membaca. Nilai sekolah saya mulai membaik seiring dengan hobi membaca yang sudah melekat pada diri saya. Setiap waktu luang bahkan saat sedang makan pun saya akan membaca. Orangtua saya tidak melarang bahkan semakin sering membelikan saya banyak buku. Ketika ibu mengajak saya ke pasar, saya tidak tertarik untuk membeli mainan. Saya malah meminta dibelikan majalah-majalah bekas dari majalah anak kesukaan saya ”BOBO”.

Masa-masa SD saya lewati dengan bahagia, apalagi guru saya pada saat itu Pak Torang Limbong adalah guru yang sangat inspiratif. Beliau mengajar dengan sangat baik. Setiap pagi beliau akan memberikan kami quis berupa pernyataan yang hanya perlu kami jawab dengan huruf B untuk benar dan S untuk Salah. Lalu beliau menilainya, saya suka sekali mengerjakan quis itu karena langsung dinilai oleh Pak Torang. Beliau mengajar kami tidak hanya ceramah saja. Pernah beliau menugaskan kami mencari biji/benih dari tanaman-tanaman dikotil dan monokotil ke sekolah. Saya dan teman-teman semangat sekali mencari biji-bijian sehingga pasti akan memeriksa setiap benih yang kami temukan di jalan untuk mengetahui apakah itu tumbuhan monokotil atau dikotil. Kami juga pernah mengambil sampel air dari kolam yang membiru dan menatapnya lewat mikroskop untuk melihat bakteri yang hidup disana.

Saya melewati masa SD yang bahagia dan masa SMA serta kuliah yang juga positif. Di bangku SMA saya selalu mendapat peringkat satu dan selalu menjadi juara umum. Saya juga sering mengikuti lomba olimpiade dan perlombaan lainnya sebagai utusan sekolah. Seringkali saya memperoleh kemenangan di tingkat kabupaten sehingga berkali-kali menjadi utusan kabupaten menuju provinsi. Hanya saja di tingkat provinsi saya hanya 1 kali mendapat peringkat juara IV. Ketika masa kuliah, nilai saya juga selalu baik, IPK saya selalu di atas 3.00 hingga bisa menyelesaikan pendidikan selama 3 tahun 9 bulan dengan predikat cumlaude. Jika ditanya apa motivasi terbesar saya saat itu, jawabannya adalah orangtua. Saya tidak ingin mengecewakan mereka yang telah bersusah payah banting tulang menyekolahkan saya, sehingga dengan prestasi saya yang baik saya mampu mengukir senyum di wajah kedua orangtua saya.

 -   Peristiwa Negatif

Ada beberapa peristiwa negatif yang pernah saya alami, misalnya di SD saya pernah mendapat nilai merah (5) untuk pelajaran Seni Budaya, karena saya tidak menyelesaikan tugas membuat karya dari bambu. Saat itu saya juga tidak menceritakan tugas itu pada orangtua saya karena saya lihat mereka sedang sibuk dan saya mencoba berusaha sendiri dengan bekerjasama dengan teman. Namun karena hasil lukisan saya tidak bagus di bambu itu saya pun tidak menyerahkannya pada guru. Peristiwa negatif lain lebih banyak saya alami di jenjang SMP. Saat itu saya masuk SMPN 3 Pandan. Saya masuk melalui jalur tes dan alhamdulillah dinyatakan lulus. Namun, saat itu saya kurang maksimal dalam belajar karena saya belum bisa beradaptasi dengan teman dan lingkungan baru. Guru-guru di SMP lebih galak dan sangat disiplin. Saat itu saya memiliki seorang sahabat yang sangat pintar. Teman saya ini sering memberikan contekan pada saya sehinggga saya malas untuk belajar dan hanya mencontek saja. Alhasil ketika ujian sekolah, tempat duduk saya dan sahabat saya dipisah sehingga saya hanya bisa melongo melihat soal-soal ujian tanpa bisa menjawabnya.

Keadaan itu semakin parah saat saya pindah sekolah. Saya dan ibu saya kembali ke kampung halaman untuk merawat kakek dan nenek. Ayah tetap di Sibolga untuk bekerja. Saat itu saya duduk di bangku kelas II SMP. Saya semakin tidak bisa maksimal belajar karena saya sering merasa malu kepada teman-teman yang suka mengejek nama saya yang ada marganya. Mereka tidak pernah mendengar nama Gulo sehingga saya menjadi bahan bully teman-teman, apalagi saat itu ayah saya masih di Sibolga sehinga saya tidak memiliki tempat untuk belajar. Guru di sekolah juga lebih sering memberikan buku untuk dicatat dan kami harus menghafalnya. Akhirnya saya mendapatkan rangking 22 dari 25 siswa.

Keadaan mulai membaik pasca tsunami, saat itu ayah kembali ke Simeulue. Mulailah nilai saya membaik karena setiap malam selalu belajar dengan ayah, hingga akhirnya saya menamatkan SMP dengan nilai UN tertinggi di sekolah saya. Almarhum ayah, selalu menyempatkan diri untuk menemani saya belajar setiap selesai magrib. Bagaimanapun lelahnya, ia tidak pernah lupa menanyakan pelajaran saya di sekolah. Ibu juga adalah sosok luar biasa dalam merawat saya, namu karena latar belakang pendidikan ibu, ia tidak bisa mengajari saya seperti ayah. Saya hanya belajar mengaji dengan ibu.

 2.      Pihak yang Terlibat

Dalam kedua peristiwa tersebut. Pihak yang terlibat selain saya adalah orangtua saya terutama ayah, guru di sekolah, teman sekolah, dan lingkungan sekolah. Orangtua adalah motivator utama saya, selalu menguatkan, memberi jalan dan tidak hentinya mendukung saya. Guru di sekolah di masa positif juga banyak membantu saya belajar. Mereka mengajarkan saya ilmu yang sangat bermanfaat hingga saat ini. Namun, ada juga guru di masa negatif yang justru menjatuhkan semangat saya dengan hukuman dan kata-kata yang menyakitkan. Teman sekolah ada yang menguatkan dan ada juga yang justru membuat saya kehilangan semangat karena dibully. Lingkungan sekolah juga sangat berpengaruh, lingkungan sekolah yang nyaman akan menciptakan rasa aman dan nyaman.

 

3.      Dampak Emosi yang Saya Rasakan Hingga Sekarang

Berdasarkan roda emosi Plutchik, saat mengingat kembali peristiwa itu saya merasakan berbagai emosi, untuk peristiwa positif Saya merasa bahagia hidup di keluarga yang harmonis dan penuh dengan kasih sayang, saya optimis karena selalu disemangati oleh orangtua dan guru saya, saya tertarik dengan pelajaran yang diberikan oleh guru, saya percaya akan penyampaian orangtua dan guru saya, saya takjub melihat hal-hal baru yang saya pelajari, saya senang diberikan apresiasi oleh guru dan orangtua setiap kali berhasil, dan saya gembira memiliki teman-teman yang baik di masa SMA.

Untuk peristiwa negatif saya merasa: kecewa kepada beberapa guru yang pernah menghukum saya dengan tamparan hanya karena membaca komik saat jam pelajaran dan saya sedih karena pernah merasa rendah karena diejek oleh teman.

 

4.      Mengapa momen yang terjadi di masa sekolah masih dapat saya rasakan dan masih dapat memengaruhi diri saya di masa sekarang?

Momen-momen tersebut masih saya rasakan dan bisa mempengaruhi saya karena hal-hal tersebut sangat berkesan. Momen tersebut tidak hanya dilihat, tetapi juga dirasakan oleh berbagai panca indra sehingga sulit terlepas dari ingatan. Hal itu juga berdampak kepada kepribadian saya. Pengalaman tersebut mendewasakan saya sehingga saya mengerti bagaimana kita harus memperlakukan oranglain dengan baik, bagaimana kita beradaptasi melalui cobaan-demi cobaan, bagaimana harus semangat dan optimis memperbaiki diri dan terus belajar, serta menajdi pribadi yang kuat dan berani mencoba hal-hal yang baru.

 

5.      Pelajaran hidup yang saya peroleh dari kegiatan trapesium usia dan roda emosi, terkait peran saya sebagai guru terhadap peserta didik saya

Dari kegiatan trapesium usia dan roda emosi saya dapat belajar bahwa hidup ini selalu bergerak dinamis. Kita tidak selalu berada pada masa dan masalah yang sama. Kita harus bisa beradaptasi dan berani menghadapi masa-masa sulit agar kehidupan berjalan lebih baik. Saya juga belajar bahwa kita tidak mampu bergerak sendiri, terkadang dibutuhkan dorongan dari orang-orang terdekat kita untuk kita dapat bangkit. Terkait peran saya sebagai guru, saya akan belajar menjadi guru yang mampu memberi motivasi. Guru yang tidak hanya memberikan teori tetapi juga mmeberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dan menemukan sendiri lalu memberi penguatan akan pengetahuan tersebut. Satu hal lagi, saya akan belajar menjadi guru yang penuh kasih sayang dan kelembutan, bukan guru yang suka menghukum, memukul, dan menghakimi siswa.

 6.      Bagaimana saya menuliskan nilai-nilai yang saya yakini sebagai seorang Guru, dalam 1 atau 2 kalimat menggunakan kata-kata:  "guru", "murid", "belajar", "makna", "peran"?

 Guru sejati tidak hanya memaksa murid untuk belajar, namun juga menuntun murid untuk menemukan makna dari hal-hal yang dipelajari karena guru sejati tidak hanya memiliki peran sebagai pengajar namun juga pendidik yang akan membantu siswa menemukan kebahagian dan keselamatan dalam hidupnya.

 

Tugas 2Nilai dan peran guru penggerak menurut saya

1.    Apa nilai-nilai dalam diri saya yang membantu saya menggerakkan murid, rekan guru, dan komunitas sekolah saya?

Nilai-nilai yang saya rasa ada dalam diri saya adalah saya adalah saya adalah pribadi yang senang berbagi dan berkolaborasi. Saya suka berbagi ilmu yang saya miliki kepada rekan guru dan komunitas saya. Saya juga selalu berusaha menunjukkan sikap positif di sekolah mulai dari berpakaian yang rapi, tutur kata yang saya jaga, dan juga sopan santun karena saya yakin guru adalah sosok yang akan menjadi tauladan murid sehingga semua tingkah laku kita dapat ditiru oleh murid. Selama ini saya juga sering berkolaborasi dengan rekan guru untuk berbagai kegiatan sekolah. Kami sering melaksanakan program-program yang bermanfaat bagi peserta didik.

 

2.      Apa peran yang selama ini saya mainkan dalam menggerakkan murid, rekan guru, dan komunitas sekolah saya?

Sebagai guru saya berperan sebagai pembimbing yang sering mendampingi siswa dalam mencapai tujuan belajarnya. Saya akan mencari cara agar mereka dapat memahami materi yang saya berikan dengan mudah. Saya suka belajar hal-hal baru yang bisa meningkatkan pengetahuan saya mengenai siswa dan cara menghadapinya.

Saat ini saya dipercayakan menjadi pimpinan sekolah. Amanah ini berusaha saya emban dengan sebaik-baiknya. Saya menyadari bahwa saya masih belum berpengalaman sehingga saya selalu membuka diri dan sering mengajak guru, siswa, dan komunitas di sekolah untuk berdiskusi. Hasil masukan dari rekan guru baik dari dalam dan luar sekolah akan menjadi landasan saya dalam menyusun program-program sekolah. Saya selalu melibatkan semua warga sekolah sehingga saya tidak pernah berjalan sendirian. Semua masalah kami hadapi bersama, sehingga Alhamdulillah meski pemula, sekolah saya dapat terus memperbaiki diri sehingga di rapor pendidikan yang baru saja terbit, Alhamdulillah semua indikator sudah berwarna hijau. Semoga diri ini dapat terus menjadi pribadi pembelajar sepanjang hayat dan bermanfaat bagi semua orang.