.jpeg) |
www.ilmusantri.net |
Perjalanan menyelami modul 1.1 "Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional-Ki Hajar Dewantara" telah mengantarkan saya pada sebuah pemahaman bahwa, pusat dari pembelajaran itu adalah murid. Kita adalah tangan yang membantu murid tersebut tumbuh sesuai dengan qodratnya dan memberikan sebaik-baiknya pemeliharaan. Pada kesempatan ini saya akan kembali menceritakan bagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara memberikan perubahan pada diri saya.
Sebelum mengenal filosofi ini saya percaya bahwa anak dapat saya didik dengan cara yang sama. Saya menganggap mereka memiliki kemampuan memahami pelajaran yang sama, yang membedakan mereka hanyalah 'usaha' yang mereka lakukan. Jika anak tidak dapat mengerti penjelasan saya, saya menganggap mereka malas dan tidak mau berusaha.
 |
www.depoedu.com |
Tak jarang saya marah karena ketidakmampuan mereka dan membandingkannya dengan rekannya yang lain yang bisa mengerjakan tugas yang saya berikan dengan baik. Saya juga tidak pernah memberikan peluang kepada anak untuk mengerjakan tugas dengan cara yang berbeda, jika saya menyuruh siswa bercerita melalui tulisan, maka mereka semua harus menulis, tidak boleh ada yang bercerita melalui gambar, suara, atau bahkan melalui video. Saya menganggap itu tidak mengikuti aturan tugas yang saya berikan. Betapa sedihnya saya saat ini jika mengingat keadaan di kelas saat itu.

Dalam modul 1.1. diceritakan bagaimana kisah perjalanan pendidikan Indonesia yang mengantarkan kita menuju pendidikan yang dapat dinikmati oleh setiap orang pada saat ini. Dulunya, pendidikan pada zaman kolonial hanyalah diberikan kepada orang-orang tertentu seperti calon pegawai atau kepada orang-orang yang bekerja pada pemerintahan kolonilal. Pendidikan yang diberikan pun hanyalah sekedar pengetahuan membaca, menulis, berhitung seperlunya yang berguna bagi pemerintah kolonial. Hingga akhirnya lahirlah Taman Siswa yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, Douwes dekker, dan Cipto Mangunkusumo. Berkali-kali Ki Hajar Dewantara dan rekan-rekannya diasingkan kerena dianggap pemikirannya membahayakan pemerintah kolonial. Namun usaha dan keyakinan semakin memperkuat berdirinya taman siswa yang benar-benar merakyat.

Ki Hajar Dewantara dalam beberapa tulisannya mengatakan bahwa pendidikan dan pengajaran adalah dua hal yang berbeda. Pengajaran adalah memberi ilmu yang bermanfaat kepada anak didik sedangkan pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Perlu diingat bahwa pendidikan adalah 'tuntunan'. Itu artinya, kita hanya dapat menuntun kehidupan anak namun bagaimana qodrat pertumbuhannya di luar kemampuan kita. Ki Hajar Dewantara menganalogikan pendidik bagaikan seorang petani yang menanam padi. Petani hanya dapat menuntun tumbuhnya padi dengan memperbaiki kondisi tanah, memberikan pupuk dan memelihara tanaman, serta menjauhkannya dari hama. Namun, petani tidak dapat mengubah qodrat tanaman padi menjadi tamanan jagung. Demikianlah anak-anak memiliki qodratnya masing-masing.
Filosofis itulah yang membuka mata saya tentang anak didik saya. Akhirnya saya menyadari bahwa anak itu berbeda, tidak hanya fisik tetapi juga psikisnya. Saya memahami mengapa kecepatan mereka menangkap pelajaran berbeda, mengapa mereka tidak maksimal dalam belajar, ternyata karena saya memperlakukan mereka semua sama. Padahal perlakuan kepada setiap benih harus berbeda, sesuai dengan jenis benih yang kita tanam. Kini saya mulai memandang anak didik saya dengan cara yang berbeda, saya tidak lagi marah jika mereka tidak bisa, saya harus mencari jalan agar pemahaman tersebut sampai kepada mereka., baik melalui gerakan, suara, gambar, nyayian, bahkan permainan.
Selain hal di atas, melalui modul ini saya pun juga akhirnya bahwa pendidikan juga merupakan persemaian benih kebudayaan. Dalam konteks sosiokultural, sebagai manusia berbudaya kita hidup di tengah masyarakat yang memiliki kebiasaan-kebiasaan, aturan-aturan, dan norma-norma.

Setiap daerah punya ciri khas dan adat istiadatnya masing-masing. Hal itulah yang seharusnya kita bawa dalam pembelajaran agar siswa tidak melupakan budaya yang sudah semakin tergerus oleh arus perkembangan zaman. Nilai-nilai luhur kebudayan mengandung banyak pesan-pesan moral yang dapat membantu pertumbuhan karakter siswa menjadi sosok berbudi pekerti luhur. Permainan-permainan tradisional juga dapat membantu siswa mengasah nilai-nilai moral. Oleh karena itu setelah mempelajari filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara ini saya akan melakukan perubahan dalam kelas saya. Saya akan mengajarkan mereka bagaimana kearifan lokal budaya Simeulue yang kaya akan adat dan istiadat. Semoga apa yang sudah saya pelajari benar-benar dapat saya implementasikan dalam pembelajaran di kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar