Senin, 30 Maret 2015

Senyum



Senyum melirik senyum
Senyum menyapa senyum
Senyum menggoda senyum
Senyum mengulum senyum

senyum sodor senyum
senyum lempar senyum
senyum makan senyum
senyum tipu senyum

Ahh, senyum selalu membuat jatuh
kerap tersandung karena senyum atau karena tiada senyum 



Kamis, 26 Maret 2015

Peci dan Dasi



 Sedih melihat negeriku kini.
Carut marut di semua lini.
Dasi-dasi menggerogoti.
Kupu-kupu memeloroti.
Peci-peci tak lagi suci
Pacul-pacul menelan duri
dan pena-pena hanya unjuk gigi

kini,
dimanakah negeri para santri?
yang katanya banyak mengaji
membuka kitab setiap hari
membuka hati
merenungi diri

kini,
inilah  kita punya negeri
selalu ada kabar setiap hari
kabar korupsi dan kriminalisasi,
menjadi santapan anak negeri
sungguh menyayat hati

Ahhh....
Tak bisa dipercayai
bahkan diri sendiri dibohongi
konon lagi anak istri
hanya demi sesuap nasi
nurani dicurangi

Ahhh....
Pertiwi mengutuki diri
Hanya menonton hukum yang dikebiri
Gigit jari  melihat orang tidak peduli hidup mati, tidak peduli harga diri
mengutamakan trend masa kini dan lupa diri

Benar-benar iri
Melihat negeri dalam cerita peri-peri
Penuh kasih, tiada dengki, dan tentu saja asri
Namun sulit terealisasi di tanah yang sudah mati

Marehewaya asal orat-oret with SM 






Jumat, 20 Maret 2015

Tawa

Ingin tertawa, menertawakan, hingga ditertawakan karena bodoh, membodohi, dan dibodohi
Kutelusuri jelujur waktu dari ujung kaki hingga pucuk rambutmu yang bermetamorfosis tanpa warna
Kubayangkan engkau menangis serak, berak, merangkak, hingga bengkak
Kubayangkan engkau dibuai, terbuai, hingga mampu membuai

ha...ha...ha...ha...ha....
Kukira baru sebentar jalinan merah jambu itu membelit, mengikat, dan membelenggu hatimu kawan
Ternyata berbilang musim sudah menetas, merambat, dan menguat bersama waktu
Tak sekejap kawan, hampir sewindu

Aku menggigil melihat mata yang ternyata sama dengan kelebat siluet senja 
Aku meradang melihat senyum dalam balutan ungu yang selalu kau tampik itu 
Aku tergugu akan rindu yang ia kirimkan berulang-ulang padamu

Ah....aku ingin tertawa, menertawakan, dan kemudian engkau tertawakan kawan
Aku menggelar syukur pada sang Maha Cinta karena mengijinkan waktu berkisah
Tapi ku sungguh sedih melihat senyum bungamu yang tentu akan layu jika kau tak berubah

Lucu sekali kawan, 
Kau terus-menerus meneguk rasa pada laut yang memanggil dahaga
Mencoba-coba pada berbagai bunga yang engkau jumpa
Tak jemu-jemu bermain muka, menutupi dengan aksara selembut sutra
Tak lelahkah engkau kawan? 



Senin, 16 Maret 2015

BUKAN BATU



Kau sangka aku batu dungu 
Tak pandai mencerna kata yang penuh cecap cumbu
Kau tawarkan aku madu
Tanpa kutahu kau suntikkan racun ulat bulu

Ah, aku tak tahu dimana kau letak nurani
Kau pandai sekali bicara soal hati
Kau berlagak suci,berlindung dibalik organisasi berujung I
Kau junjung pemberontakan pada hukum yang dikebiri
Kau juga salah satu timsesnya presiden I

Tak kusadari aku terinfeksi pada mata, pada gigi, dan pada kaki
Ku akui kau memang pandai mencuri hati
Membuat ketar-ketir sepi yang merajai diri
Menguasai belahan otak kiri 

Lalu, ternyata ada dia
Dia yang kau buat seolah tiada dan sia-sia
Dia yang setia tanpa mengenal usia
Membalutmu dengan aneka rupa bahagia 

Kau gila, benar-benar gila
Kau tawarkan cinta seakan-akan itu permen aneka rasa
Aku tahu, kau mencintai perasaan yang engkau jaga
Lalu kenapa, kau tebarkan pesona pada raga yang pernah luka

Aku tak ingin menyalahkanmu begitu rupa
Menghujatmu penuh amarah tak akan mengubah apa-apa
Hanya sekedar rasa yang belum semekar bunga
Justru kau menghadirkan yang sebelumnya tiada
Mengembalikan cinta yang kusangka masih bersama dia

Tak kusalahkan engkau yang bermain mata
Justru kubahagia kau torehkan warna 
Hanya saja, ingatlah hai jaka lana
Sudah saatnya kau berlabuh raga 

Jangan lagi kau suguhkan ragu, rayu, dan pilu
Wanita tak berhati batu, meski mungkin sedikit dungu 
Hati mereka rapuh, mudah layu, tapi tak kaku 
Layaknya sang ibu, mereka juga penuh rindu



  


                                                                     



Jumat, 13 Maret 2015

RESAH

         
 
 

RESAH

Pada senja yang mengemis aku berkisah
Tentang pulauku yang resah, gelisah, dan marah

Ah, pulauku rupanya indah.
Kau tanya pada lelaki mana saja mereka pasti tak akan sanggah

Setiap pagi pulauku terjaga
Mengetuk tiap-tiap pintu yang terbuka
Berbisik pada mereka-mereka yang lupa
Berjalan bersama wajah-wajah penuh tawa

Setiap siang pulauku datang
Membawakan dandang lalu melantunkan dendang
Ia suguhkan udang,
ia suguhkan kacang,
ia suguhkan kubang

Setiap sore pulauku berjalan-jalan memakai konde
Singgah di bale-bale lalu main lotre dua ronde
Jika menang ia pasti teriak ‘hore’
Tapi jika kalah ia pasti pulang tanpa tempe

Setiap malam pulauku pergi
bergelayut manja pada batang-batang padi
menggoda jejaka berpeci yang mengaji
lalu mengajak mereka merenungi hari

terkadang, pulauku kalut
ingin sekali bercumbu dengan laut
tak peduli pada maut, hanya demi isi perut

         
Ah, pulauku sempurna
riak-riak rambutnya aroma surga,
lekuk tubuhnya memanjakan mata

Dengarlah,
Halus suaranya mengusir rintik-rintik badai
Gemulai telapak kakinya menjejaki pantai
Lembut tangannya mengelus pasir-pasir landai

Namun sebenarnya ia tengah merindu
Dari bilik-bilik bambu ia menunggu nafas serdadu
Serdadu yang dulu syahdu, tak kaku, dan tak berotak batu

Sayang sekali itu hanyalah mimpi
Mereka rata-rata sudah mati
Hanya hidup pada warung-warung kopi
Tapi pandai menghitung untung rugi


Marehewaya galau di Ruang Kuliah PPG
Jumat, 13 Maret 2015